Budaya

Takhta, Tradisi, dan Tajuk Agung Langkat Ditegakkan Kembali oleh Sultan Negeri Langkat IV, Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Harimugaya Abdul Djalil Rahmatsyah

269
×

Takhta, Tradisi, dan Tajuk Agung Langkat Ditegakkan Kembali oleh Sultan Negeri Langkat IV, Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Harimugaya Abdul Djalil Rahmatsyah

Sebarkan artikel ini

LANGKAT, Menarapos.id – Pada Minggu pagi, 23 November 2025 esok, Balairoong Sri Aru PD MABMI Langkat berubah menjadi panggung agung yang menautkan masa silam dan masa kini.

Di gedung yang selama ratusan tahun menjadi saksi perjalanan peradaban Melayu di pesisir timur Sumatera itu, Kesultanan Negeri Langkat kembali menegakkan marwah adat melalui penabalan Orang Besar Bergelar Kesultanan- sebuah ritual yang semakin langka namun tetap dijaga dengan kehormatan yang nyaris sakral.

Dua puluh dua nama dari akademisi, pejabat, tokoh masyarakat, hingga ahli hukum tercatat akan menerima gelar Dato’ dan limpah kurnia adat dari Sultan Negeri Langkat IV, Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Harimugaya Abdul Djalil Rahmatsyah.

Nama-nama itu tak sekadar daftar penghormatan.

Mereka mewakili jejaring sosial, politik, intelektual, dan kultural yang menopang keberlanjutan adat Melayu Langkat dalam modern.

Penabalan ini Bukan sekadar seremoni. Dalam adat Melayu, penabalan adalah tanda legitimasi, tanda amanah, dan tanda marwah tiga hal yang bersentuhan langsung dengan struktur kekuasaan tradisional.

Prosesi dimulai dari ketibaan Datuk Perangkat, dilanjutkan ketibaan Zuriat, hingga tibalah momen yang membuat Balairoong menahan napas, ketibaan Sultan Langkat, Sang Paduka Seri, yang memasuki ruangan dengan tata adat yang hanya sedikit orang masih benar-benar memahami maknanya.

Setelah Sultan duduk, seluruh majelis mengikuti.Kemudian mengalirlah bacaan Qur’an, lagu kebangsaan, pembacaan silsilah, hingga dua momen paling ditunggu yakni:

Titah Sultan, yang menjadi arah moral dan politik adat bagi Langkat.

Semua rangkaian berlangsung di Balairoong Sri Aru, sebuah gedung adat yang menjadi nadi kebudayaan Melayu Langkat. Dari sinilah sejarah, bahasa, adat, dan garis keturunan diperteguh di hadapan publik.

Acara ini diadakan pukul 08.30 WIB hingga selesai, sebagai bagian dari upaya Kesultanan Langkat menjaga kesinambungan adat, sekaligus menegaskan eksistensi historis mereka di tengah arus modernisasi dan berkurangnya peran kesultanan di ruang publik.

Penabalan dilakukan bukan hanya untuk melanjutkan tradisi, tetapi juga untuk menegaskan kembali struktur lembaga adat sebuah institusi yang masih memiliki pengaruh moral, sosial, dan simbolik di tengah masyarakat Melayu Langkat.

Deretan tamu undangan yang tercantum menunjukkan level acara ini bukan sembarangan.

Mulai dari Bupati Langkat, Pangdam Bukit Barisan, Kajatisu, Kapoldasu, Kapolres Langkat, hingga para Sultan Pantai Timur Melayu dan Tokoh-tokoh Melayu se-Nusantara.

Juga hadir para kerabat Sultan, dan nama-nama yang menjadi napas genealogis Kesultanan.

Setiap bagian acara disusun rinci, ketat, dan penuh simbol. Dari berpakaian kuning warna kebesaran Sultan yang tak boleh ditandingi hingga tata letak dan urutan prosesi yang harus mengikuti pakem lama.

Dalam puncak acara, Sultan menabalkan para penerima gelar satu per satu.

Pada saat itulah Balairoong seolah berubah menjadi ruang waktu sejarah dan masa kini bertemu di tengah hantaran doa, pantun adat, dan simbol-simbol kebesaran Melayu yang tak lekang diterpa zaman.

Di tengah intrik politik modern, ekonomi yang berubah cepat, dan masyarakat yang makin terhubung dengan dunia luar, Kesultanan Langkat mengirim pesan, adat tidak hilang, ia tetap hidup selama masih ada yang menjaga.

Penabalan gelar bukan hanya seremoni.
Ini adalah ikhtiar memelihara identitas, mengukuhkan marwah, sekaligus mempertemukan otoritas tradisional dengan dunia kekinian.

Dan pada hari Minggu itu, Langkat tidak hanya menabalkan gelar.

Langkat menegakkan kembali sejarahnya.
Menata ulang garis martabatnya.

Serta memastikan bahwa di tengah riuh dunia modern, suara adat Melayu masih memiliki takhta, titah, dan tuah.(rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *